Senin, 10 Oktober 2011

Aku, Kamu, dan Semesta




Aku selalu menyunggingkan sebuah senyum saat memikirkan bagaimana cara semesta berkonspirasi untuk membuat kita bertemu. 

Kita, pada awalnya adalah aku dan kamu yang menjalani hidupnya sendiri-sendiri, menjalani waktu-waktu yang kadang bersilangan namun saling memalingkan diri. 

Kita, yang dulu pernah sesekali terlibat percakapan-percakapan dalam sebuah lingkar senyuman. 

Dan kita, yang sering dipertemukan pada persimpangan jalan hanya untuk pura-pura diam.

Siapalah aku? 

Aku pada waktu itu hanyalah setengah dari pria tanggung yang belum punya tanggung jawab terhadap segala gerak-gerikmu. Dan aku sama sekali tidak berhak untuk sekadar memprotes senyuman-senyuman kamu yang memang mengganggu.

Seminggu setelah bertemu kamu mampu untuk membuat isi kepalaku tidak beraturan. 

Aku adalah orang yang gemar berpikir, berpikir tentang apa saja yang mampu aku pikirkan. Dan aku terus berpikir yang macam-macam tentang kamu. 

Aku berpikir tentang rona merah di wajah yang penuh oleh pipi. 

Aku berpikir tentang hidung yang pesek-pesek jambu. Dan seingatku, aku pernah sangat berharap untuk bisa mengetahui apa yang ada di dalam pikiran kamu.

Percayakah kamu, saat aku berkata bahwa tidak ada kejadian yang kebetulan? 

Yang kutahu, pada waktu itu semesta sedang mengatur rencana untuk kita. Baterai handphone yang hampir habis, kemacetan, panas, dua gelas teh poci, dan segala yang muncul pada waktu itu kuyakini sebagai rencana semesta.

Aku berpikir, apa yang akan terjadi bila saja kita tidak memutuskan untuk bertemu pada saat itu. Atau bila kita pergi bukan melewati jalan yang sama, bila kita tidak berhenti untuk berteduh dari panas, untuk berkompromi dengan kemacetan, atau untuk apapun sesuai keinginan semesta.

Aku berpikir, apa yang akan terjadi bila kita tidak memutuskan untuk pergi menonton sebuah film picisan yang tak pernah kuingat sampai sekarang. Lalu apa yang akan terjadi bila waktu itu bukan hari rabu, bukan jam 3 sore, bukan sepulang aku kuliah.

Semua tidak akan sama.

Ya, semua tidak akan sama bila aku menjemputmu bukan di pinggir jalan. Aku ingat, di depan tukang tambal ban, di atas trotoar rusak yang berjejer-jejer, kamu berdiri sambil menjinjing tas biru tua favoritmu. Kamu mengenakan baju putih garis-garis hijau, celana jeans biru, dan tak lupa kalung cokelat bermotif hati yang sangat membantu untuk mengalihkan pandangan dari perutmu yang sedikit tembem. Semua tidak akan sama bila salah satu dari semua itu tak sesuai dengan rencana semesta.

Aku ingat, setelah sedikit sapa dan senyuman, kamu menaiki motor dan kita bergegas menuju bioskop yang tak jauh dari sana. Pada saat itu kita adalah dua orang yang sibuk pada satu hal yang sama. Aku sibuk memasuki pikiranmu, dan kamu sibuk menutupnya.

Aku ingat, dengan kecepatan yang sepelan mungkin aku berusaha untuk berbicara, namun ternyata klakson mobil yang lelah lebih berani untuk mengeluarkan suara.

Kita sampai di bioskop, lalu memilih film yang akan ditonton dengan ragu-ragu, menontonnya sebagai dua orang yang pura-pura lugu, lalu mengakhirinya dengan ambigu. Semua terjadi bukan karena kita tidak mengerti apa isi dari yang kita tonton pada waktu itu, tapi lebih kepada perasaan yang hadir dan tak menentu.

Aku masih ingat semuanya dengan jelas, sekitar pukul delapan malam kita pulang menyusuri jalan-jalan sambil mencari tempat cemilan yang asik, dan akhirnya berhenti di sebuah warung pecel lele. Di pojok warung kita duduk berhadapan sambil terdiam. Aku ingat, sambil menunggu pesanan kita hanya sibuk memperhatikan orang-orang yang ada di sana. Lalu kucoba untuk mencairkan suasana dengan memberimu sebuah pertanyaan tentang apa kesibukanmu sehari-hari, dan selanjutnya semua mengalir begitu saja.

Kamu.

Andai kamu bisa merasakan bagaimana degup jantungku waktu itu.

Andai kamu tahu susahnya menahan diri untuk tidak memelukmu.

Andai kamu tahu, betapa kesalnya aku pada waktu yang enggan menunggu.

Dan andai kamu tahu, pada waktu itu, kamulah satu-satunya alasan mengapa semesta membuat lidahku kelu untuk sekadar mengucap aku suka kamu.

Jatuh cinta itu seperti menonton sulap, kau takkan pernah tahu rahasianya di awal.

 220611

2 komentar:

  1. to my beloved brother :
    "it takes a minute to love someone, an hour to love someone, but to forget someone takes a lifetime".#@damnitstrue

    BalasHapus
  2. "it takes a minute to like someone, an hour to love someone, but to forget someone takes a lifetime".

    BalasHapus