Rabu, 26 Desember 2012

Diamku Tentang Enam Kita


Sayang, hanya bila kamu sempat, simaklah diamku tentang enam kita.

Kita yang pertama, adalah sepasang halaman pada buku tua, dan sepotong kertas penuh rindu yang pudar sebagai pembatasnya. 

Kita yang kedua, adalah sepasang diam yang enggan bicara, disekap rindu sendiri, mendekap hangat sendiri.

Kita yang ketiga, adalah sepasang kepak tak seirama, mengitari langit desember yang murung dan malas bercuaca. 

Kita yang keempat, adalah sepasang punggung memar, gemar bersandar pada harapan-harapan samar.

Kita yang kelima, adalah sepasang sepatu yang tak sama, menjejaki, kemudian menjajaki jalan kenangan yang membuntu satu persatu.

Dan kita yang terakhir, kita yang tak pernah kau akui sebagai kita, adalah sepasang selimut angin yang belum siap untuk saling kedinginan.

-----------------------------------------------------

Tidak akan diberi judul



Setiap hari pukul lima sore, aku tidak pernah tidak menunggu kamu.

Aku duduk di tempat biasa, lalu melamun.

Sudah sembilan bulan aku selalu ke sini, kedai yang (menurutku) tidak istimewa, yang hanya beberapa langkah dari rumah kamu. Tapi entah kenapa, aku selalu datang ke kedai ini, walau sebenarnya banyak kedai-kedai lain yang lebih baik.

Mataku mengelilingi sekitar. Di sebelah kedai, ada toko boneka yang khusus menjual boneka beruang saja. Aku pernah membeli satu yang sangat besar untuk kamu, boneka beruang besar berwarna ungu yang membuatku untuk pertama kalinya dipeluk olehmu. 


'Akhirnya aku punya kamu yang lain di saat kamu tak ada, terima kasih ya..' Kamu berbisik dan mempererat pelukan.


Aku mengangguk samar.


Mataku kembali ke kedai, dan berhenti pada tempat pertama kita bertemu. Aku tersenyum, ternyata, satu-satunya hal yang membuat kedai ini istimewa adalah hanya karena aku pernah berada di sana dengan kamu.

Dengan langkah gontai aku memasuki kedai, dan langsung menuju meja yang sore ini berwarna cokelat tua, dengan corak daun di permukaannya. Ada satu hal yang aneh dengan kedai ini. Setiap hari, pemilik kedai selalu mengubah warna meja. Kadang biru, hijau, merah, kadang juga hitam kekuning-kuningan, tapi seingatku tidak pernah ungu. Entahlah, toh aku tidak tertarik untuk bertanya kepada mereka apa alasannya.

Aku tidak bohong.

Bila kamu tidak percaya, sila tanyakan kepada pemilik kedai. Setiap hari pukul lima sore, aku tidak pernah tidak menunggu kamu. Menunggu hati yang terbuat dari batu, batu yang lebih padat dari kristal, dengan kadar keraguan yang hampir setengahnya.

Seperti biasa, sore ini aku ditemani pelayan tua yang tampak bosan dengan kursi plastik yang terus mengeluh karena terus-menerus kupantati.

'Pak, bubur ayamnya satu.'

Tanpa menoleh, pelayan tua itu mengangguk, dan segera mengambil mangkuk untuk menyiapkan bubur yang katanya istimewa.

Setiap hari pukul lima sore, aku tidak pernah tidak menunggu kamu.

Tahukah kamu, sejak hubungan kita berakhir, aku hanya meyakini bahwa kita saling bertemu hanya untuk saling percaya bahwa kamu mampu untuk pergi, dan aku mampu untuk bertahan. 

Sudahlah, tak ada gunanya juga mulutmu berbusa untuk meyakini sebuah batuSetan mulai bersajak di dalam kepalaku.


Aku tetap tidak bergeming sebelum tersadar dari lamunan ketika tiba-tiba kamu sudah ada di hadapanku. Kamu mengenakan jaket hitam yang pernah kupinjamkan, celana training yang bolong di bagian betis, dan kerudung ungu tanpa motif kesukaanmu.

Aku sadar, waktuku hanya tersisa sebentar.

'Bolehkah aku bertemu kamu lagi?'

Aku terbangun sesaat setelah kamu menggelengkan kepala.


-----------------------------------------------------------------------